JAUHILAH KEBIASAAN MENGUMPAT ATAU MENGGUNJING

Tanpa kita sadari dalam kehidupan sehari-hari, acap kali ketika kita berinteraksi bersama dengan teman sejawat, kolega ataupun teman sekantor, kita telah melakukan perbutan ghibah atau menggunjing/mengumpat, padahal ghibah merupakan salah satu dosa dari berbagai dosa yang ada dan sejatinya harus dijauhi oleh kita. Karena disadari atau tidak bahwa perbuatan ghibah akan menggerogoti amal kebajikan kita sendiri, laksana api membakar kayu atau laksana api membakar sekam yang tentu bila dibiarkan berlaru-larut akan menghilangkan amal baik seseorang namun kebanyakan kita menyepelekan hal ini dan tidak menganggapnya hal yang serius bahkan lumrah. Apalagi bila saat kumpul-kumpul biasanya seseorang memiliki potensi kecenderungan untuk menggunjingkan orang lain ketika bahan pembicaraan akan hal-hal yang positif telah habis, orang akan melirik hal-hal lainnya yang cenderung negatif misalkan ngerumpi atau mengomentari orang lain yang dianggap kurang lazim dalam pandangannya misalkan underestimate/memandang rendah terhadap penampilan fisiknya, IQ-nya kurang atau seseorang yang kurang bermasyarakat di lingkungannya atau senang membicarakan kejelekan-kejelakan orang lain, menghina orang dan pelbagai macam ragam jenisnya maka terjadilah pergunjingan karena ada yang memulainya dan ditimpali oleh lainnya sehingga gayung pun bersambut, hal itu bisa menjadi bahan pembicaraan yang tak pernah habis-habisnya dan terasa mengasyikkan bagi pelaku ghibah, mengapa bisa terjadi demikian? Sudah barang tentu karena dalam majelis ini peran syetan sangat dominan dalam membisikkan hati manusia agar terus dan terus bergungjing hingga amal seorang menjadi habis karenanya. Seperti kutipan seseorang pengarang buku yang sy ambil :
Ketika kebencian dan kedengkian lebih menguasai pikiran dan hati manusia maka apapun terlihat olehnya adalah serba buruk dan negatif. Salah satu contoh bagaimana kebencian dan kedengkian menguasai pikiran, mereka akan berusaha keras mencari pembenaran terhadap apa yang mereka simpulkan.
Seolah-olah tidak ada kebenaran selain yang mereka ucapkan atau gunjingkan atau anggapkan sementara yang lainnya mereka anggap salah semua, yang benar hanyalah mereka.Lain halnya bila berkumpul dalam majelis-majelis ilmu dalam rangka mengesakan Allah atau membahas kemaslahatan umat, tentunya majelis semacam ini jauh dari hal-hal yang kurang mendatangkan manfaat. Syetan akan sorak sorai dan suka cita bila dalam perkumpulan-perkumpulan yang di dalamnya diikuti dengan pergunjingan karena misinya telah tercapai untuk menggelincirkan umat manusia agar kelak menjadi temannya di neraka jahanam. Na'uzubillah min dzalik.

Konsekuensinya amal kebaikan pelaku ghibah akan mengalir kepada orang yang digunjingkan dan dicatat dosa oleh malaikat dan sebaliknya orang yang digunjingkan tanpa disadarinya akan menerima amal baik dari orang yang menggunjingkan. Artinya pelaku ghibah akan merugi sendiri atau meminjam istilah rekan saya di kantor adalah “tekor” karena amal baiknya akan berkurang (defisit)dan mengalir kepada orang yang digunjingkannya. Sementara orang yang digunjingkan akan memperoleh benefit surflus amal kebaikan dari pelaku ghibah. Memang lidah tak bertulang, Allah menciptakan lidah untuk berkata yang baik-baik saja, mengecap hal-hal yang dihalalkan dan thoyib (baik) bukan sebaliknya dipakai untuk menggunjingkan atau mengumpat seseorang.

Silence is gold = Diam adalah emas, sepertinya pepatah itu masih sangat relevan dalam kehidupan ini. Talk less do more = sedikit bicara banyak bekerja. Maknanya bukan berarti kita tidak boleh banyak berbicara namun hanya banyak bekerja akan tetapi tentunya yang diharapkan adalah banyak bicara dalam rangka mengajak kepada kebaikan dan kebenaran yang hakiki. Mulutmu adalah harimaumu, salah-salah kita dalam berucap akan membawa malapetaka bagi pelakunya. Apalagi di alam keterbukaan dewasa ini orang bebas berpendapat apa saja karena ini merupakan hak asasi yang dilindungi oleh tata hukum negara kita sepanjang masih pada batas-batas norma-norma hukum yang berlaku baik norma adat dan kebiasaan serta tidak merugikan dan menjelekkan pihak-pihak lain dan nama baik seseorang namun Islam memiliki pandangan tersendiri tentang ghibah. Ghibah (mengumpat) adalah salah satu perbuatan yang tercela dan memiliki kesan negatif yang cukup besar. Ghibah dapat mencerai-beraikan ikatan kasih sayang dan ukhuwah sesama manusia. Seseorang yang berbuat ghibah berarti dia telah menebarkan kedengkian dan kejahatan dalam masyarakat. Walaupun telah jelas besarnya bahaya ghibah, tapi masih banyak saja orang yang melakukannya dan menganggap remeh bahaya ghibah (mengum-pat/menggunjing). Akan tetapi ternyata ada beberapa hal yang mengakibatkan seseorang diperbolehkan untuk mengumpat/menggunjing. Namun sebelum mengetahui kriteria masalah apa saja yang membolehkan seseorang untuk melakukan ghibah, ada baiknya kita mengetahui dahulu apa itu ghibah.

Definisi Ghibah Pengertian ghibah itu sendiri dapat kita lihat dalam hadits Rasulullah SAW sebagai berikut : “Ghibah ialah engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.” Si penanya kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu bila apa yang diceritakan itu benar ada padanya ?” Rasulullah e menjawab, “kalau memang benar ada padanya, itu ghibah namanya. Jika tidak benar, bererti engkau telah berbuat buhtan (mengada-ada).” (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad). Berdasarkan hadits di atas telah jelas bahawa definisi ghibah iaitu menceritakan tentang diri saudara kita sesuatu yang ia benci meskipun hal itu benar. Ini bererti kita menceritakan dan menyebarluaskan keburukan dan aib saudara kita kepada orang lain. Allah sangat membenci perbuatan ini dan mengibaratkan pelaku ghibah seperti seseorang yang memakan bangkai saudaranya sendiri. Allah S.w.t berfirman: ” Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebahagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Adapun ghibah yang diperbolehkan : Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim dan Riyadhu As-Shalihin, menyatakan bahawa ghibah hanya diperbolehkan untuk tujuan syara’ iaitu yang disebabkan oleh enam hal, iaitu: 1. Orang yang mazhlum (teraniaya) boleh menceritakan dan mengadukan kezaliman orang yang menzhaliminya kepada seorang penguasa atau hakim atau kepada orang yang berwenang memutuskan suatu perkara dalam rangka menuntut haknya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 148: “Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa’ : 148). Ayat ini menjelaskan bahawa orang yang teraniaya boleh menceritakan keburukan perbuatan orang yang menzhaliminya kepada khalayak ramai. Bahkan jika ia menceritakannya kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan, kekuatan, dan wewenang untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, seperti seorang pemimpin atau hakim, dengan tujuan mengharapkan bantuan atau keadilan, maka sudah jelas boleh hukumnya. Tetapi walaupun kita boleh mengghibah orang yang menzhalimi kita, pemberian maaf atau menyembunyikan suatu keburukan adalah lebih baik. Hal ini ditegaskan pada ayat berikutnya, iaitu Surat An-Nisa ayat 149: “Jika kamu menyatakan kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” (QS. An-Nisa: 149) 2. Meminta bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang benar. Pembolehan ini dalam rangka isti’anah (minta tolong) untuk mencegah kemungkaran dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang hak. Selain itu ini juga merupakan kewajiban manusia untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar. Setiap muslim harus saling bahu membahu menegakkan kebenaran dan meluruskan jalan orang-orang yang menyimpang dari hukum-hukum Allah, hingga nyata garis perbedaan antara yang haq dan yang bathil. 3. Istifta’ (meminta fatwa) akan sesuatu hal. Walaupun kita diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk lebih berhati-hati, ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita adukan, tidak lebih. 4. Memperingatkan kaum muslimin dari beberapa kejahatan seperti: a. Apabila ada perawi, saksi, atau pengarang yang cacat sifat atau kelakuannya, menurut ijma’ ulama kita boleh bahkan wajib memberitahukannya kepada kaum muslimin. Hal ini dilakukan untuk memelihara kebersihan syariat. Ghibah dengan tujuan seperti ini jelas diperbolehkan, bahkan diwajibkan untuk menjaga kesucian hadits. Apalagi hadits merupakan sumber hukum kedua bagi kaum muslimin setelah Al-Qur’an. b. Apabila kita melihat seseorang membeli barang yang cacat atau membeli budak (untuk masa sekarang bisa dianalogikan dengan mencari seorang pembantu rumah tangga) yang pencuri, peminum, dan sejenisnya, sedangkan si pembelinya tidak mengetahui. Ini dilakukan untuk memberi nasihat atau mencegah kejahatan terhadap saudara kita, bukan untuk menyakiti salah satu pihak. c. Apabila kita melihat seorang penuntut ilmu agama belajar kepada seseorang yang fasik atau ahli bid’ah dan kita khawatir terhadap bahaya yang akan menimpanya. Maka kita wajib menasihati dengan cara menjelaskan sifat dan keadaan guru tersebut dengan tujuan untuk kebaikan semata. 5. Menceritakan kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat fasik atau bid’ah seperti, minum-minuman keras, menyita harta orang secara paksa, memungut pajak liar atau perkara-perkara bathil lainnya. Ketika menceritakan keburukan itu kita tidak boleh menambah-nambahinya dan sepanjang niat kita dalam melakukan hal itu hanya untuk kebaikan. 6. Bila seseorang telah dikenal dengan julukan si pincang, si pendek, si bisu, si buta, atau sebagainya, maka kita boleh memanggilnya dengan julukan di atas agar orang lain langsung mengerti. Tetapi jika tujuannya untuk menghina, maka haram hukumnya. Jika ia mempunyai nama lain yang lebih baik, maka lebih baik memanggilnya dengan nama lain tersebut. Wallahu a’lam bishshawab Sumber: hikmatun.wordpress.com, Ibnu Taimiyah, Imam Syuyuthi, Imam Syaukani,, Maktabah Al-Manar, Yordania.

Comments

  1. saya saat ini sedang di rasani(digunjing).mulai dari subuh sampai orang tidur lagi(mlm hari).dan saya sangat jelas mendengarnya.....apa yang harus saya lakukan?trims

    ReplyDelete

Post a Comment

Silahkan memberikan komentar Anda disini namun seyogyanya masih dalam batas-batas etika dan norma-norma serta kaidah hukum yang berlaku. Dan sepatutnya juga tidak menyinggung pihak-pihak lain atau komentar yang berbau sara (suku, agama dan ras) dan penghinaan terhadap karakter serta nama baik seseorang. Thanks for visiting our blogs. Please comeback anytime you want. We always welcome you with arms wide open. Penulisrega

Popular posts from this blog

Kisah Perjalanan Mudik Lebaran by rega

Tips Menghilangkan Rasa Pahit pada Daun Pepaya Ala Orang Tua Zaman Dahulu (Zadul)

Mencari Ridho Allah SWT vs Mencari Ridho Manusia

Akhir Hayat Manusia Ditentukan Oleh Kebiasaannya

PERINGATAN ISRO’ MI’RAJ NABI MUHAMMAD SAW DI TPA AL-BAROKAH

Muli Mekhanai dan Duta Kopi Lampung Barat 2015

Pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Lampung Barat periode 2012-2017